“OKIK”
Gelasak-gelusuk ibu-ibu penenun dengan tangkas memainkan jari dan kakinya di Okik.Suaranya seperti ketukan-ketukan kayu yang berbun...
Gelasak-gelusuk
ibu-ibu penenun dengan tangkas memainkan jari dan kakinya di Okik.Suaranya
seperti ketukan-ketukan kayu yang berbunyi dengan tempo cepat mengikuti gerak
kaki para penenun.Disela-sela suara itu terdengar ocehan-ocehan ibu-ibu para
penenun, sekali-sekali terdengar suara tertawa cekikan mereka.
Beberapa
alat tenun yang orang-orang sebut dengan Okik tampak berjejer dengan ibu-ibu penenenu yang duduk
bertenun dengan santai da penuh ocehan.Hal inilah yang akan kutunjukkan kepada
Emak.
Bengkel
tenunku memang semakin maju pesat belakang ini sejak banyaknya pesanan pejabat-pejabat
kabupaten yang menyukai hasil songket tenun
bengkel tenunanku.Pejabat-pejabat kabupaten sangat memuji kerapian motif
songket-songketku yang begitu rapi dan indah dipandang mata.
“Wah, makin besar saja usahamu ya Tan.”Puji
Emak kepadaku.
“Bupati mesan songketmu juga.”tanya
ibu
“Alhamdulillah, iya mak.Istrinya
juga sering mesan songketku juga mak.”Dalam hati, aku sangat senang karena aku
dapat membanggakan jerih payahku kepada ibu.Ini membuat pikiranku damai dan
sangat sangat bersyukur.
Gelasak-gelusuk
ibu-ibu penenun dengan tangkas memainkan jari dan kakinya di Okik.Suaranya
seperti ketukan-ketukan kayu yang berbunyi dengan tempo cepat mengikuti gerak
kaki para penenun.Disela-sela suara itu terdengar ocehan-ocehan ibu-ibu para
penenun, sekali-sekali terdengar suara tertawa cekikan mereka.
Sedikit
kudorong kursi roda emak mendekat ke okik agar emak bisa lebih jelas
melihat.Kulihat emak sangat senang melihat ibu-ibu penenun menenun
tenunannya.Suara okik terdengar semakin keras, namun semakin berirama.
Aku
dan Emak sambil tersenyum terus memperhatikan para penenun.Aku dan Emak
sepertinya sangat menikmati kegiatan ibu-ibu penenun dan okiknya. Suara ketukan
okik seakan berirama, bernyanyi bersama ocehan ibu-ibu penenun di bengkel
tenunku sore ini.Entah apa yang membuat benak pikiranku sangat senang dengan
suasana seperti ini.Suasana yang membuat pikiran ku melayang damai dan tenang.
Gelasak-gelusuk
ibu-ibu penenun dengan tangkas memainkan jari dan kakinya di Okik.Suaranya
seperti ketukan-ketukan kayu yang berbunyi dengan tempo cepat mengikuti gerak
kaki para penenun.Disela-sela suara itu terdengar ocehan-ocehan ibu-ibu para
penenun, sekali-sekali terdengar suara tertawa cekikan mereka.
Aku
terpaksa menggantikan posisi Emak sebagai penenun di bengkel tenunan haji
Sabrina.Emak tidak bisa menenun lagi karena kecelakaan seminggu yang
lalu.Kecelakaan itu membuat kakinya patah dan hanya bisa berbaring di tempat
tidurnya.Untung saja nyawanya tidak melayang, karena dia dan adik laki-lakiku
yang kumiliki sejak Abah tenggelam di laut.
“Hey Atan, anak laki-laki koq betenun.Kamu itu
seharusnya kelaut cari ikan”tegur bu Dawo yang bertenun disebelahku.Kebiasaan
di kampungku, pekerjaan menenun songket adalah salah satu pekerjaan perempuan
yang dilakukan turun temurun sejak zaman datuk-datuk kami dahulu.Sedangkan
laki-lakinya pergi kelaut menjadi nelayan dan kebiasaan ini juga dilakukan
turun temurun sejak zaman datuk-datuk kami dahulu.
“Saya takut kelaut bu’,gak bisa
berenang, gak bisa naik sampan”.jawabku.
Aku
memang sangat takut untuk pergi kelau mencari ikan. Aku hanya diajarkan menenun
oleh ibuku.Abah terlalu cepat pergi meninggalkanku sehingga dirinya tidak
sempat mengajakku untuk pergi kelaut menangkap ikan seperti anak laki-laki
lainnya
“Anak Laki koq penakut.”jawab
ibu-ibu penenun lainnya.Sejak aku ikut menenun di bengkel tenun haji Sabrina,
Cemoohan dari ibu-ibu penenun sering kudengar dan membuat perasaanku
geram.Apakah salah jika anak laki-laki menenun,Apakah selamanya anak laki-laki
itu harus melaut.Penduduk disini terlalu menuruti kebiasaan-kebiasaan dan
aturan aneh dari datuk-datuk yang kadang mereka tidak tahu untuk apa aturan dan
kebiasaan itu dibuat.
Gelasak-gelusuk
ibu-ibu penenun dengan tangkas memainkan jari dan kakinya di Okik.Suaranya
seperti ketukan-ketukan kayu yang berbunyi dengan tempo cepat mengikuti gerak kaki
para penenun.Disela-sela suara itu terdengar ocehan-ocehan ibu-ibu para
penenun, sekali-sekali terdengar suara tertawa cekikan mereka.
Sambil
menenun hati dan pikiranku meceracau.Cemoohan orang-orang membuat pikiranku
tidak tenang dan hatiku kacau dan membuatku menyalahkan banyak hal.Aku hanya
terdiam, pikiranku melayang mengingat Emak di rumah.Emak berpesan kepadaku agar
menghiraukan semuah cemoohan orang-orang kepadaku.Emak berpesan untuk terus
bekerja keras, dan jangan pedulikan kata- kata orang.Emak juga berkata kalau
aku ini adalah anak Emak yang hebat, anak laki-laki Emak yang pandai
betenun.Anak laki-laki Emak yang tidak durhaka pada ibunya.Emak mengatakan
kalau dia bangga kepadaku, dia tidak malu mempunyai anak sepertiku.Dalam hati
aku berkata, aku akan membuat Emak benar-benar bangga kepadaku.
Pikiranku
melayang lagi, pikiranku teringat haji sabrinah yang mempunyai bengkel tenun.
Betapa bahagianya dia, mempunyai banyak uang, mempunyai kenalan dengan
pejabat-pejabat kabupaten, pergi ke kota memamerkan songket-songketnya,
anak-anaknya tentram belajar di kota, keluarganya bahagia.Tiba-tiba saja aku
bercita-cita menjadi dirinya.
Pikiranku
melayang lagi, teringat spanduk-spanduk bupati yang mendukung pengembangan
usaha songket di daerah ini. Songket di kampungku memang berbeda dengan
songket-songket yang ada di kota dan di kampung-kampung lain.Songket kampungku
sangat dipuji karena kehalusan dan kerapian motif melayunya yang unik.
Gelasak-gelusuk ibu-ibu penenun dengan tangkas
memainkan jari dan kakinya di Okik.Suaranya seperti ketukan-ketukan kayu yang
berbunyi dengan tempo cepat mengikuti gerak kaki para penenun.Disela-sela suara
itu terdengar ocehan-ocehan ibu-ibu para penenun, sekali-sekali terdengar suara
tertawa cekikan mereka.
Kudorong
lagi emak mendekat ke Okik.Mungkin terlalu dekat kutarik lagi ke belakang agar
dia tidak menganggu ibu-ibu penenun.Semakin lama, kursi roda emak juga berbunyi
seperti Okik. Suaranya seperti ketukan-ketukan kayu yang berbunyi dengan tempo
cepat, kulihat ibu-ibu penenun yang duduk di Okik memperhatikan kami.Tatapannya
seperti orang keheranan. Aku dan ibu saling berpandang, tidak tahu apa yang
dimaksud si penenun.
Aku
balas tatapan heran ibu-ibu penenun tersebut dengan senyuman.Dibalasanya dengan
menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda dia semakin heran kepada kami.Aku dan
Emak saling berpandangan, kali ini kami pun ikut mengelengkan kepala pertanda
kami juga heran dengan tatapan mereka.
Gelasak-gelusuk
ibu-ibu penenun dengan tangkas memainkan jari dan kakinya di Okik.Suaranya
seperti ketukan-ketukan kayu yang berbunyi dengan tempo cepat mengikuti gerak
kaki para penenun.Disela-sela suara itu terdengar ocehan-ocehan ibu-ibu para
penenun, sekali-sekali terdengar suara tertawa cekikan mereka.
“Hey, Atan kamu melamun.”Tiba-tiba haji Sabrina
berada di sampingku dan menegurku.
Sebuah
teguran membuyarkan lamunanku, kursi roda ibu berubah menjadi kayu penenun
okik.Tiba-tiba aku tersadar, aku masih berada di bengkel tenunan haji Salbinah.
Aku masih duduk bertenun di Okik yang ejadi meja kerjaku.Ibu masih terbaring
lemah di rumah. Ibu belum mempunyai kursi roda untuk datang ke bengkel
tenunanku.Bahkan, akupun belum mempunyai bengkel tenunan sendiri.
Peknabaru, 5 April 2014
Peknabaru, 5 April 2014
1 komentar :
jarang lagi nulis bg...
Reply